Minggu, 30 Januari 2011

Mengajak Santri Memahami Tugas Jurnalistik


DEPOK, Ada yang berbeda di Pondok Pesanteren (Ponpes) Qotrun Nada pimpinan KH Drs Burhanuddin Marzuki di Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Cipayung, Kota Depok, pagi itu. Puluhan santri-putra putri Madrasah Aliyah (MA) tidak menggenggam kitab suci—Al Quran—dan kitab kuning sebagaimana layaknya seorang santri yang sedang mondok.

Puluhan santri gabungan se-Kota Depok itu, sengaja datang ke sejak pukul 08.00 WIB ke Ponpes Qotrun Nada untuk mengikuti pelatihan dasar jurnalistik. Kendati tidak membawa kitab kuning dan kitab suci, mereka tetap berbusana layaknya seorang santri. Tata krama dan kesopanan seorang santri tetap dijunjung tinggi. Walaupun materi yang akan disampaikan para pembicara bukan materi agama melainkan materi pengenalan media: online, televise, cetak, dan radio.

Setiap peserta mengikuti fase acara dengan serius. Tidak ada canda gurau disana. Para santri yang datang baik itu santri putri-putra menunjukan kehausannya akan ilmu. Bahkan, ada diantara peserta yang langsung menunjukan ketertarikannya pada dunia jurnalistik.

Acara pelatihan jurnalistik ini sendiri digagas Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kota Depok. Mereka mengajak peran serta Kelompok Kerja (Pokja) Wartawan Kota Depok untuk memberikan sedikit ilmu yang dimiliki para pekerja pers di Kota Depok kepada para santri. “Kami beruntung gagasan dan ide kami dalam menyelenggarakan pelantihan jurnalistik atau lebih tepatnya memperkenalkan tugas jurnalistik kepada para santri disambut baik pekerja pers di Kota Depok,” kata Ketua IPNU Depok, Aan Humaidi, Minggu (30/1).

Menurut Aan, ide lahirnya pelatihan jurnalistik sesungguhnya lahir dari pemikiran para santri itu sendiri. Mereka memiliki ketertarikan pada tugas seorang wartawan sewaktu mencari berita, mengolah berita, hingga ditampilkan ke ruang public. “Ketertarikan itu kemudian kita sambungkan ke teman-teman Pokja Wartawan. Jadi lah pelatihan ini,” kata dia.

Aan berharap, pelatihan jurnalistik ini nantinya akan melahirkan para insane pers dari kalangan santri. Artinya, santri dapat mewarnai dunia jurnalistik dengan keilmuan yang mereka miliki. “Sudah barang tentu, tidak terlepas dari kaidah-kaidah keindonesiaan. Mereka akan menuliskan tentang ajaran Islam secara benar. Tidak diartikan secara sempit sehingga melahirkan teroris,” kata dia.
Aan mengatakan, ini merupakan kegiatan awal yang nantinya akan dilakukan secara rutin. “Kami berharap kerjasama antara IPNU dan Pokja Depok dapat berlangsung terus menerus,” kata dia.

Di tempat sama, Ketua Pokja Wartawan Depok, Nahyudi mengatakan, melihat antusiasme para santri putri-putra mengikuti materi yang disusun pihak panitia, ingin rasanya kegiatan seperti ini menjadi kegiatan rutin. “Walaupun kita hanya memiliki sedikit ilmu, kalau dibagikan kepada orang lain rasanya ilmu yang kita miliki menjadi berkah,” kata dia.

Yudi mengaku kaget saat seorang santri putri menganalisis tayangan media televisi yang kerap menampilkan sinetron, kekerasan, keberutalan, dan mistik. Sementara porsi untuk menyampaikan ilmu agama sangat sedikit. “Saya sempat kaget dengan pertanyaan itu, tapi saya bisa menjelaskan bahwa pasar di Indonesia lebih menyukai hal-hal seperti itu. Bila masyarakat tidak menyukai tontonan sinetron, kekerasan, dan mistik maka televisi dengan sendirinya tidak akan menampilkan acara tersebut,” kata dia.

Hal senada juga dialami Firdaus—Jurnal Depok—ia tertawa geli saat seorang santeri putri bertanya mengenai mekanisme pengambilan foto human interest. Apakah perlu izin dengan orang tersebut atau tidak. “Bicara momentum ya harus menghilangkan sedikit tata krama. Kalau mau mengambil gambar seorang pengemis tidur di bawah jembatan karena kelelahan ya ga perlu izin karena momennya bisa hilang,” katanya.

Daus mengaku senang dengan kekritisan yang dimiliki para santri putri dan putra. Mereka tidak sungkan-sungkan bertanya mengenai apa pun yang mereka ingin tanyakan. “Saya rasa kegiatan seperti ini harus lebih sering lagi diadakan. Membagi ilmu lebih nikmat rasanya,” kata dia.

0 komentar: