DEPOK, Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Abdullah Hanan menilai program santunan kematian yang digulirkan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok kurang tepat. Sebab, indikator pertumbuhan ekonomi Kota Depok masih berada dalam kondisi tidak sehat. "Program santunan kamatian kurang tepat karena kondisi perekonomian Depok masih kurang sehat," kata Abdullah, Senin (1/11).
Abdullah mengatakan, program santunan kematian sebesar Rp2 juta per jiwa itu lebih kental nuansa pencitraan. Atau dapat dikatakan, pemerintah daerah mencari perhatian publik agar dapat disebut sebagai pemerintahan yang peduli lingkungan. "Padahal bukan itu konteks sesungguhnya menjalankan pemerintahan. Yang terpenting adalah mendorong kemajuan dan kesejahteraan masyarakat,
dengan partisipasi," kata dia.
Dia mengatakan, program yang telah berjalan tiga tahun itu menjadi indikasi pula kreatifitas yang minim. Pemerintah daerah tak mampu mengelola sumber dan asset lokalnya untuk dikembangkan. Sehingga memilih proyek-proyek bernuansa popularitas tersebut.
Abdullah menyebutkan beberapa kondisi yang nyata di Kota Depok adalah minimnya fasilitas public yang baik. Dukungan bagi ekonomi local juga tidak optimal, serta beberapa persoalan sosial lainnya. "Seharusnya dana santunan dapat digunakan untuk program-program yang berkaitan dengan fasilitas publik, ekonomi lokal dan lainnya. Bukan santunan yang tidak semua orang dapat menggunakannya," kata Abdullah.
Lebih lanjut Abdullah menuturkan program sejenis itu masih banyak pola lainnya. Tetapi lebih banyak dinikmati masyarakat. Misalnya beasiswa, dana kesehatan atau pinjaman modal. Berbeda dengan santunan kematian, Abdullah menilai program tersebut hanya tentative. Pengelolaannya pun terlihat banyak kesulitan. Bahkan dari sejumlah catatan ribuan warga yang berhak belum menikmati program tersebut.
Secara terpisah, anggota Badan Anggaran DPRD Kota Depok, Edi Sitorus menegaskan program santuna kematian yang sudah menyedot anggaran sebesar Rp46 miliar perlu dikritisi. Banyak catatan yang menunjukan adanya kejanggalan dari pelaksanaan proyek tersebut. "Dulu proyek itu dipegang oleh pihak ketiga. Sekarang ingin dilaksanakan oleh pemerintah sendiri. Artinya ada yang tidak beres dalam pelaksanaan denga pihak ketiga," katanya.
Setidaknya, sambung dia, tercatat 2.483 ahli waris yang belum mendapatkan haknya. Padahal dalam aturannya hak santunan kematian itu diterima paling lama 2 minggu sejak masuknya berkas kematian. Dengan kondisi itu, Edi mengaku perlu ada penataan yang lebih baik.
Dijelaskannya, pada periode pertama (2007-2008), jumlah peserta yang mengajukan klaim untuk santunan kematian adalah sebanyak 5.975 peserta dengan nilai nominal klaimnya sebesar Rp. 11.950.000.000 untuk periode ke dua dengan jangka waktu (2008-2009) jumlah peserta yang mengajukan klaim sebanyak 6.610 peserta dengan nilai nominal Rp. 13.970.000.000. Dari data tersebut, berarti penduduk Kota Depok yang mengaju-kan klaim kematian mengalami kenaikan sebesar 17 %. Sementara untuk periode ke tiga (2009-2010) hingga tanggal 12 Juli 2010, jumlah total peserta yang telah terbayarkan sebanyak 4.417 peserta dengan nilai Rp 8.834.000.000.
Dari peserta yang mengajukan klaim sebanyak 5.622 dan 1.205 peserta yang belum terbayarkan, maka persentase klaim yang telah terbayarkan sampai tanggal 12 Juli 2010 adalah sebesar 79 % .Untuk periode bulan Juli 2010 saja ada 6.343 peserta atau sebesar nilai nominal Rp1.308.000.000.
Senin, 01 November 2010
ICW Nilai Santunan Kematian Merupakan Proyek Pencitraan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar