Kamis, 16 September 2010

Santunan Kematian Kembali Disoal

DEPOK, Program santunan kematian yang digulirkan Wali Kota Nur Mahmudi Ismail sebesar Rp 17 miliar yang digelontorkan pemerintah Kota Depok sepertinya tidak pernah luput dari persoalan. Bukan hanya mekanisme pengelolaannya bermasalah dan tidak efektif, tapi juga adanya dugaan kesengajaan menahan uang tersebut untuk kepentingan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada). Protes santunan kematian itu dilontarkan sejumlah warga di kelurahan Bhakti Jaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok. Sebab, pengucuran dananya sangat terlambat. Hampir tiga bulan baru dapat diterima warga. Padahal, dalam aturan main hanya 14 hari. "Di RW 14 tempat saya ini ada keluarga almarhum yang belum terima
santunan itu. Padahal janjinya dana itu mengucur kurang dari 14 hari," ujar pengurus RW 14, Bhakti Jaya, Agus Taslim, Kamis (16/9).
Agus mengatakan, keluhan terlambatnya pengucuran santunan kematian itu sudah berulang kali disampaikan. Tetapi pemerintah daerah melalui Dinas Sosial Kota Depok tidak menggubris. Mereka selalu meminta warga menunggu. Menurutnya sikap ini menimbulkan kecurigaan warga. Karena anggaran
santunan kematian itu sudah disiapkan pemerintah daerah melalui APBD. Besarnya mencapai Rp 17 miliar yang dikelola lembaga asuransi. "Secara financial tidak ada hambatan. Berkas persyaratan
pengajuan juga lengkap. Tapi kenapa tidak turun," kata dia.
Lebih menariknya lagi, sambung dia, ada kelompok masyarakat lain yang mendapatkan dana santunan lebih cepat. Tak perlu menunggu sampai tiga bulan dananya sudah turun. Dengan besar santunan mencapai Rp2 juta. Menurutnya ketidak jelasan pemerintah ini menimbulkan berbagai kecurigaan. Sepertinya ada diskriminatif pelayanan yang dilakukan petugasnya. "Ini seharusnya tidak boleh terjadi. Apalagi sampai ada indikasi menikmati bunga bank dari uang santunan itu," kata dia.
Dilokasi berbeda, anggota Fraksi Partai Demokrat (FPD) Jeanne Noveline mengatakan santunan kematian merupakan program unggulan wali kota, digagas dan diimplementasikan sejak tahun 2007, 2008, dan 2009. "Ada beberapa kejanggalan dalam implementasi program Santunan Kematian, hal ini harus menjadi perhatian seluruh anggota Dewan, eksekutif, mau pun yudikatif," katanya.
Menurut Jeanne, program Santunan Kematian merupakan penjabaran dari salah satu misi wali kota yakni : meningkatkan kualitas keluarga, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat berlandaskan nilai-nilai agama, seperti yang dijabarkan dalam RPJMD 2006-2011. Sayangnya, kata Jeanne, pemkot selaku perumus kebijakan menempatkan kegiatan pengelolaan dan pemberian santunan kematian sebagai jaminan sosial, namun konsep jaminan sosial tidak berdasar pada teori yang ada. "Yang menjadi pertanyaan adalah apakah program tersebut sebagai asuransi sosial atau bantuan sosial," katanya.
Anggota Komisi A itu mengatakan, system jaminan sosial secara garis besar mengikuti dua metode yakni: asuransi sosial (social insurance) adalah jaminan sosial yang diberikan kepada peserta asuransi berdasarkan premi yang dibayarkannya. Kedua, bantuan sosial (social assistance) merupakan jaminan sosial yang umumnya diberikan kepada kelompok lemah dalam masyarakat yang meskipun tidak membayar premi, tetapi dapat memperoleh tunjangan pendapatan atau pelayanan sosial. Masalahnya, terang Jeanne, dalam dokumen pelaksanaan anggaran Disnakersos tahun 2007,2008, dan 2009 di dalamnya tertulis alokasi anggaran belanja premi asuransi kematian. Sedangkan kata belanja secara etimologi memiliki makna segala bentuk pembayaran yang dikeluarkan dengan memperoleh imbalan balik dari apa yang dibelanjakannya. Sedangkan kata bantuan merupakan sesuatu yang diberikan kepada seseorang tanpa mengharapkan imbalan balik dari apa yang dikeluarkannya. Belanja dapat diartikan sebagai
sesuatu yang bersifat rutin atau berkesinambungan, sedangkan bantuan bersifat temporer atau sewaktu-waktu. "Mengapa terjadi kontradiktif antara Judul kegiatan dalam DPA dengan rincian yang ada di dalamnya. Dalam judul tertulis pengelolaan dan pemberian Santunan Kematian, sedangkan dalam rincian tertulis belanja premi asuransi kematian?. Alangkah borosnya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kota Depok apabila hanya digunakan untuk membayar belanja premi asuransi kematian sebesar jumlah penduduk Kota Depok per tahun. Padahal alangkah lebih baik jika jiwa mereka tidak usah diasuransikan. Cukup dengan memberikan uang duka sejumlah penduduk yang meninggal pertahun. Itu lebih efisien dan tidak membuang anggaran yang besar," ujarnya.

0 komentar: