DEPOK, Tak kunjung meraih piala Adipura, kantor wali kota disatroni puluhan massa dari Gerakan untuk Pemuda (Garuda). Puluhan massa mempertanyakan kinerja Wali Kota Nur Mahmudi Ismail dalam mengatasi permasalahan sampah. Padahal, untuk mengatasi krisis persampahan di Kota Depok, Nur Mahmudi telah mengembangkan program sensasional membangun 100 Unit Pengolahan Sampah (UPS) hingga 2011. "Tidak sedikit dana dikeluarakan untuk mengatasi masalah persampahan. Mengapa kita masih saja tak kunjung mendapatkan Adipura," tegas dinamisator lapangan (dinlap) aksi tersebut, Fikri, Kamis (17/6).
Fikri mengatakan, merebut Adipura yang merupakan supremasi tertinggi di bidang kebersihan dari Kementerian Lingkungan Hidup merupakan dambaan setiap insan di Depok. Sayangnya semangat perjuangan antara Pemerintah Kota (Pemkot) Depok dengan masyarakatnya tidak terjalin secara kolektifitas, simultan, dan simultan. "Wajar rasanya kalau hal ini dibiarkan terus menerus seperti ini, Kota Depok akan menjadi kota terkotor," ujarnya.
Koordinator aksi tersebut, Rachman Tiro dengan lantang berkata, pemkot telah menggelontorkan dana sebanyak Rp 100 miliar lebih untuk mengatasi masalah sampah. Dana itu, kata dia, digunakan untuk
membuat sejumlah program seperti UPS dengan anggaran Rp 10,8 Miliar, Tempat Penampungan Akhir (TPA) senilai Rp 4 miliar. Selain itu, ada pula Rp 8,8 miliar untuk layanan angkutan sampah dan Rp 5,3 miliar untuk anggaran pengelolaan sampah. Ada pula dana pemasangan spanduk dan baliho mendukung
Adipura yang banyak dipasang di sut-sudut kota. "Anggaran besar, tapi sampah tetap tak teratasi," ucapnya.
Rachman menuding Nur Mahmudi sebagai wali kota menjadi faktor utama tidak terciptanya kebersamaan di Kota Depok. Nur Mahmudi malah membentuk masyarakat individualis. "Ingat, program sensasional 100 UPS
hanya menghamburkan uang rakyat," ujarnya.
Menurut Cahyo, juru bicara aksi, kegagalan pemerintah memenangkan Adipura terletak pada program pemerintah yang individualis dan tak melibatkan warga sekitar. Menurutnya, UPS misalnya, ia berpendapat meski program ini baik, proyek hanya melibatkan orang-orang di lingkungan wali kota saja. Akhirnya, ujarnya lebih lanjut, proyek ini tak memiliki perencanaan yang matang. Bahkan banyak yang tak maksimal seperti berhenti beroperasi karena tak kunjung mendapat dukungan warga. "Jadi intinya walikota Depok gagal untuk mewujudkan program meraih Adipura ini," katanya.
Sementara itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Depok mengakui telah memprediksi
kegagalan ini. Menurut anggota komisi C, Slamet Riyadi, kepada wartawan beberapa waktu lalu, kebanyakan program pemerintah belum menyentuh hal-hal substantive untuk menyelesaikan masalah kebersihan. Ia mengatakan kebanyakan program hanya seremonial saja.
Dalam aksi tersebut, pendemo tak hanya berorasi, mereka juga membakar tumpukan sampah sebagai tanda gagalnya pemerintah. Namun sayangnya, demo kali ini tak ditemui perwakilan dari pemerintah. Bahkan, wali kota Depok, Nur Mahmudi Ismail sedang tak berada di tempat.
Fikri mengatakan, merebut Adipura yang merupakan supremasi tertinggi di bidang kebersihan dari Kementerian Lingkungan Hidup merupakan dambaan setiap insan di Depok. Sayangnya semangat perjuangan antara Pemerintah Kota (Pemkot) Depok dengan masyarakatnya tidak terjalin secara kolektifitas, simultan, dan simultan. "Wajar rasanya kalau hal ini dibiarkan terus menerus seperti ini, Kota Depok akan menjadi kota terkotor," ujarnya.
Koordinator aksi tersebut, Rachman Tiro dengan lantang berkata, pemkot telah menggelontorkan dana sebanyak Rp 100 miliar lebih untuk mengatasi masalah sampah. Dana itu, kata dia, digunakan untuk
membuat sejumlah program seperti UPS dengan anggaran Rp 10,8 Miliar, Tempat Penampungan Akhir (TPA) senilai Rp 4 miliar. Selain itu, ada pula Rp 8,8 miliar untuk layanan angkutan sampah dan Rp 5,3 miliar untuk anggaran pengelolaan sampah. Ada pula dana pemasangan spanduk dan baliho mendukung
Adipura yang banyak dipasang di sut-sudut kota. "Anggaran besar, tapi sampah tetap tak teratasi," ucapnya.
Rachman menuding Nur Mahmudi sebagai wali kota menjadi faktor utama tidak terciptanya kebersamaan di Kota Depok. Nur Mahmudi malah membentuk masyarakat individualis. "Ingat, program sensasional 100 UPS
hanya menghamburkan uang rakyat," ujarnya.
Menurut Cahyo, juru bicara aksi, kegagalan pemerintah memenangkan Adipura terletak pada program pemerintah yang individualis dan tak melibatkan warga sekitar. Menurutnya, UPS misalnya, ia berpendapat meski program ini baik, proyek hanya melibatkan orang-orang di lingkungan wali kota saja. Akhirnya, ujarnya lebih lanjut, proyek ini tak memiliki perencanaan yang matang. Bahkan banyak yang tak maksimal seperti berhenti beroperasi karena tak kunjung mendapat dukungan warga. "Jadi intinya walikota Depok gagal untuk mewujudkan program meraih Adipura ini," katanya.
Sementara itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Depok mengakui telah memprediksi
kegagalan ini. Menurut anggota komisi C, Slamet Riyadi, kepada wartawan beberapa waktu lalu, kebanyakan program pemerintah belum menyentuh hal-hal substantive untuk menyelesaikan masalah kebersihan. Ia mengatakan kebanyakan program hanya seremonial saja.
Dalam aksi tersebut, pendemo tak hanya berorasi, mereka juga membakar tumpukan sampah sebagai tanda gagalnya pemerintah. Namun sayangnya, demo kali ini tak ditemui perwakilan dari pemerintah. Bahkan, wali kota Depok, Nur Mahmudi Ismail sedang tak berada di tempat.
0 komentar:
Posting Komentar