DEPOK, Mantan Kepala Kantor Pemeriksaan Jakarta Tujuh, Direktorat Jenderal Pajak, Bahasyim Assifie, pemilik rekening janggal bernilai Rp70 miliar, dipastikan mempunyai lahan seluas 20 hektar di RT01/RW20 dan RT03/RW19, Kelurahan Tapos, Kecamatan Tapos, Kota Depok. Tanah seluas 5 hektar yang berlokasi di RT01/RW20 difungsikan sebagai pabrik pengepakan ikan, sedangkan selebihnya merupakan lahan tidur yang dikelilingi tembok berkawat. "Semua tanah ini milik Bahasyim," kata Ketua RW20, Ujang, Jumat (9/4).
Menurut Ujang,pabrik pengepakan ikan milik Bahasyim belum lama beroperasi. Seingatnya pabrik tersebut baru tiga tahun beroperasi. Namun, tanah tempat pabrik berdiri telah menjadi kepunyaan Bahasyim sejak lama. Ia memperkirakan, Bahasyim membeli tanah tersebut saat harga tanah di Jalan Kebayunan, Kampung Lewi Nanggung masih dihargai Rp800 ribu per meter. "Pabrik pengepakan ikan baru berdiri tahun 2007," katanya yakin.
Ujang mengatakan, konsumen dari pabrik, umumnya orang yang akan melakukan hajatan dan membutuhkan ikan tongkol dalam jumlah banyak. Para pembeli umumnya datang sendiri ke pabrik dengan menggunakan mobil atau motor. Para pembeli tersebut datang baik pada siang, sore, maupun, malam hari. "Di dalam lahan seluas lima hektar tersebut hanya di bangun ruangan kantor yang tidak terlalu besar, gudang penyimpanan ikan, dan masjid," katanya.
Ia menambahkan, bahwa mantan Inspektur Kinerja Kelembagaan Bappenas tersebut memiliki tipikal yang kurang bersahabat dengan masyarakat sekitar. Ia merupakan sosok orang kaya yang kurang ramah terhadap penduduk setempat. "Bahasyim orangnya kurang peduli terhadap masyarakat sekitar," katanya.
Hal senada juga diutarakan, Siska (20) tahun, warga RT03/RW19, hampir setiap malam Jumat, masjid di dalam pabrik rutin mengadakan pengajian. Hanya saja, yang diundang dalam pengajian tersebut bukanlah warga sekitar pabrik melainkan kelompok pengajian dari pesantren. "Kita nggak pernah diundang sama sekali," katanya.
Mantan Kepala Urusan (Kaur) Pemerintahan Kecamatan Cimanggis, Deden Wisnu (45) mengatakan, Bahasyim membeli tahan yang sekarang dijadikan pabrik pengepakan ikan sejak tahun 1998. Pada tahun 2002 tanah tersebut diserahkan kepada salah seorang putranya. "Saya masih ingat Bahasyim membeli tahan tersebut tahun 1998, dan beberapa waktu kemudian tanah tersebut diserahkan kepada salah seorang putranya, saya lupa namanya," kata dia.
Deden mengatakan, sedangkan tanah di RT03/RW19 dibeli Bahasyim sekitar tahun 2002, lokasinya percis di depan pintu masuk pabrik pengepakan ikan, atau bersebelahan dengan SDN Lewi Nanggung. Luas tanahnya, kata dia, kalau tidak salah mencapai 5 hektar. Beberapa tahun berikutnya dia beli lagi disampingnya seluas enam hektar," ujarnya.
Mantan Kepala Desa Tapos, Nihin, yang mengaku mengakhiri jabatannya pada tahun 1998 juga pernah berurusan dengan Bahasyim. Menurutnya, Bahasyim tidak membeli lahan sekaligus melainkan secara dicicil. "Kalau ada warga yang mau jual tanah maka Bahasyim dengan cepat membeli tanah tersebut," katanya.
Namun, Nihin, tidak mengenal kepribadian Bahasyim. "Saya berurusan sama dia hanya sekali sewaktu dia beli tanah, selebihnya tidak pernah lagi berurusan dengan dia," katanya.
Berdasarkan pemantauan di lapangan, bangunan pabrik dipagari dengan tembok semen yang dipenuhi tanaman merambat. Tinggi tembok sekitar 2,5 meter. Di atas tembok juga terpasang kawat berduri. Baik pintu gerbang utama maupun pintu gerbang samping memiliki tinggi sekitar 2 meter, terbuat dari besi baja, dan bercat biru. Bahkan pintu samping yang berbatasan langsung dengan jalan raya Tapos terbagi atas dua lapis. Untuk melihat kedalam pabrik, para pencari berita harus menggunakan kendaraan mereka untuk dijadikan pinjakan.
Salah seorang pekerja pabrik yang sempat keluar gerbang mengatakan bahwa bangunan tersebut bukanlah tempat tinggal Bahasyim. "Ini hanya pabrik pengepakan ikan, bukan rumahnya," kata pria yang enggan menyebutkan namanya.
Menurut Ujang,pabrik pengepakan ikan milik Bahasyim belum lama beroperasi. Seingatnya pabrik tersebut baru tiga tahun beroperasi. Namun, tanah tempat pabrik berdiri telah menjadi kepunyaan Bahasyim sejak lama. Ia memperkirakan, Bahasyim membeli tanah tersebut saat harga tanah di Jalan Kebayunan, Kampung Lewi Nanggung masih dihargai Rp800 ribu per meter. "Pabrik pengepakan ikan baru berdiri tahun 2007," katanya yakin.
Ujang mengatakan, konsumen dari pabrik, umumnya orang yang akan melakukan hajatan dan membutuhkan ikan tongkol dalam jumlah banyak. Para pembeli umumnya datang sendiri ke pabrik dengan menggunakan mobil atau motor. Para pembeli tersebut datang baik pada siang, sore, maupun, malam hari. "Di dalam lahan seluas lima hektar tersebut hanya di bangun ruangan kantor yang tidak terlalu besar, gudang penyimpanan ikan, dan masjid," katanya.
Ia menambahkan, bahwa mantan Inspektur Kinerja Kelembagaan Bappenas tersebut memiliki tipikal yang kurang bersahabat dengan masyarakat sekitar. Ia merupakan sosok orang kaya yang kurang ramah terhadap penduduk setempat. "Bahasyim orangnya kurang peduli terhadap masyarakat sekitar," katanya.
Hal senada juga diutarakan, Siska (20) tahun, warga RT03/RW19, hampir setiap malam Jumat, masjid di dalam pabrik rutin mengadakan pengajian. Hanya saja, yang diundang dalam pengajian tersebut bukanlah warga sekitar pabrik melainkan kelompok pengajian dari pesantren. "Kita nggak pernah diundang sama sekali," katanya.
Mantan Kepala Urusan (Kaur) Pemerintahan Kecamatan Cimanggis, Deden Wisnu (45) mengatakan, Bahasyim membeli tahan yang sekarang dijadikan pabrik pengepakan ikan sejak tahun 1998. Pada tahun 2002 tanah tersebut diserahkan kepada salah seorang putranya. "Saya masih ingat Bahasyim membeli tahan tersebut tahun 1998, dan beberapa waktu kemudian tanah tersebut diserahkan kepada salah seorang putranya, saya lupa namanya," kata dia.
Deden mengatakan, sedangkan tanah di RT03/RW19 dibeli Bahasyim sekitar tahun 2002, lokasinya percis di depan pintu masuk pabrik pengepakan ikan, atau bersebelahan dengan SDN Lewi Nanggung. Luas tanahnya, kata dia, kalau tidak salah mencapai 5 hektar. Beberapa tahun berikutnya dia beli lagi disampingnya seluas enam hektar," ujarnya.
Mantan Kepala Desa Tapos, Nihin, yang mengaku mengakhiri jabatannya pada tahun 1998 juga pernah berurusan dengan Bahasyim. Menurutnya, Bahasyim tidak membeli lahan sekaligus melainkan secara dicicil. "Kalau ada warga yang mau jual tanah maka Bahasyim dengan cepat membeli tanah tersebut," katanya.
Namun, Nihin, tidak mengenal kepribadian Bahasyim. "Saya berurusan sama dia hanya sekali sewaktu dia beli tanah, selebihnya tidak pernah lagi berurusan dengan dia," katanya.
Berdasarkan pemantauan di lapangan, bangunan pabrik dipagari dengan tembok semen yang dipenuhi tanaman merambat. Tinggi tembok sekitar 2,5 meter. Di atas tembok juga terpasang kawat berduri. Baik pintu gerbang utama maupun pintu gerbang samping memiliki tinggi sekitar 2 meter, terbuat dari besi baja, dan bercat biru. Bahkan pintu samping yang berbatasan langsung dengan jalan raya Tapos terbagi atas dua lapis. Untuk melihat kedalam pabrik, para pencari berita harus menggunakan kendaraan mereka untuk dijadikan pinjakan.
Salah seorang pekerja pabrik yang sempat keluar gerbang mengatakan bahwa bangunan tersebut bukanlah tempat tinggal Bahasyim. "Ini hanya pabrik pengepakan ikan, bukan rumahnya," kata pria yang enggan menyebutkan namanya.
0 komentar:
Posting Komentar