Minggu, 26 April 2009

Mengenal Depok Lebih Dekat di HUT ke X Hilangnya Bangunan Peninggalan Belanda


DEPOK, Siapa pernah menduga Depok yang dahulunya hutan belantara, rindang, sejuk, nyaman, fresh, dan indah kini telah berubah seratus derajat. Hal itu disebabkan oleh perencanaan pembangunan yang tidak memiliki master plan. Dahulu, kompeni Belanda melakukan pembangunan dengan memperhatikan banyak aspek dari mulai lingkungan, kemasyarakatan, ekonomi, sosial, dan alam. Artinya, tak asal bangun dan mendapat keuntungan. Sayangnya, bangunan bersejarah milik kompeni Belanda di Kota Depok kini lenyap ditelan ketamakan pembangunan.

Untuk mengetahui sejarah Depok, Jurnal Nasional berbincang-bincang dengan salah seorang keturunan Belanda yang menetap di Depok, Cornelis Yoseph Jonathan (96) atau biasa dipanggil dengan nama ‘Opa Yoti’. Menurutnya, berawal dari hadirnya seorang tuan tanah dermawan bernama Cornelis Chatelein yang menjadi anggota Read Ordinair atau pejabat pengadilan Verenigde Oost-Idische Compagnie (VOC). Ayahnya, kata dia, Antonie Chastelein adalah seorang Perancis yang menyeberang ke Belanda dan pekerja di VOC. Ibunya Maria Cruidenar, putri Wali Kota Dordtrecht. Sinyo perancis-Belanda ini menikah dengan noni Holland Cathatina Van Vaalberg. Pasangan ini memiliki seorang putra, Anthony Chastelein, dan menikah dengan Anna De Haan.

Saat Cornelis Chatelein menjadi pegawai VOC, kariernya boleh dikatakan cukup bersinar. Dalam hitungan bulan, karirnya terus menanjak. Namun, saat terjadi perubahan ditampuh kepeimipinan VOC yakni pergantian gubernur, ia pun memilih keluar dari VOC. Sebagai seorang agamawan fanatic, Cornelis tidak senang melaihat praktik kecurangan VOC. VOC memiliki borok, dekandenis moral, serta korupsi. Hal itu sangat bertentangan dengan hati nuraninya. Hal itu pula lah yang mamantapkan langkah Cornelis Chatelein keluar dari VOC.

Opa Yoti menuturkan, pada tahun 18 Mei 1696, Cornelis membeli tiga bidang tanah di hutan sebelah selatan Batavia yang hanya bisa dilintasi melalui sungai Ciliwung dan jalan setapak. Ketiga bidang tanah tersebut terletak di bilangan Mampang, Karanganyar, dan Depok. Ia pun mulai berkecimpung bidang pertanian. Dengan membeli tahan kembali di bilangan Srengseng, Jakarta Selatan. Untuk menggarap lahan pertaniannya yang luas itu, ia mendatangkan pekerja dari Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Ternate, Jawa, Batavia, Pulau rote, dan Filipina. Semuanya berjumlah sekitar 120 orang.

Menjelang ajalnya, pada 13 Maret 1714, Cornelis menulis wasiat berisi antara lain mewariskan tanahnya kepada seluruh pekerjanya yang telah mengabdi kepadanya sekaligus menghapus status pekerja menjadi orang merdeka. Setiap keluarga bekas pekerjanya, memperoleh 16 ringgit. Hartanya berupa 300 kerbau pembajak sawah, dua perangkat gamelan berlapis emas, 60 tombak perak, juga dihibahkan kepada bekas pekerjanya. Pada 28 Juni 1714 Cornelis meninggal dunia, meninggalkan bekas budaknya yang telah melebur dalam 12 marga diantaranya, Jonathans, Leander, Bacas, Loen, Samuel, Jacob, Laurens, Joseph, Tholens, Isakh, Soediro, dan Zandoks. Namun, saat ini tinggal 11 marga. Lantaran satu marga, Zandoks telah punah. Jadi bisa dibilang, keturunan pekerja yang dimerdekakan Cornelis itulah yang disebut Belanda Depok.

Opa Yoti bercerita, setelah mendapat kemerdekaan dan mendapatkan kekuasaan para meneer Belanda itu, meulai menguasai tanah seluas 1.244 hektar atau setara dengan wilayah enam kecamatan Kota Depok. Dan, memang dahulu juga telah tercipta pemerintahan sendiri, yang disebut pemerintah partikelir Depok. Jadi bisa dibilang jalan Pemuda ini dulunya mempunyai pemerintahan sendiri yang namanya pemerintah partikelir Depok. "Yang menjadi kepala pemerintahan pada waktu itu bergelar Presiden, diambil dari 12 marga yang dipilih secara bergantian. Presiden yang terakhir adalah ayah marga Jonathan, itu adalah ayah saya," katanya saat ditemui dirumahnya Jl. Pemuda RT 04/08.

Dikatakannya, semasa ayahnya Jonathan menjadi Presiden. Anak kelima dari tujuh bersaudara ini tinggal Jalan Pemuda RT 04/08, Pancoran Mas, persisnya di depan Rumah Sakit Harapan Depok. Namun, setelah ayahnya meninggal dunia, rumah yang semula ditempatinya diwariskan untuknya. "Sekarang saya yang menempati rumah peninggalan ini bersama anak-anak. Sampai saat ini bisa dibilang kalau bangunan rumah saya itu masih kuno lantaran belum ada perubahan. Hanya, bagian atap teras ada perubahan sedikit dimana dulunya gedeg sekarang menjadi genteng," ungkapnya.

Dia masih ingat beberapa beberapa gedung kuno yang masih bergaya Belanda dan belum direnovasi sejak zaman kolonial sampai saat ini adalah Gereja GPIB Immanuel, bangunan Sekolah Kasih, dan bangunan Lembaga Cornelis Chastelein (LCC). "Waktu itu, kawasan disini banyak ditumbuhi tanaman padi sehingga hawanya sejuk dan tidak berpolusi. Bahkan, juga tidak macet. Kalau sekarang, udah arus lalu lintasnya di sepanjang jalan macet. Bahkan, juga sudah banyak polusi. Dulu sih pemandangannya enak sekali," tandasnya.

0 komentar: