Selasa, 27 September 2011

Radikalisme di Indonesia Sudah Masuk Bayaha Laten


DEPOK, Menurut Rektor Universitas Pancasila (UP) Edie Toet Hendratno bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton, Kota Solo, Jawa Tengah (Jateng) menunjukan radikalisasi di Tanah Air sudah masuk kedalam bahaya laten. Perlu penagangan serius dari semua pihak untuk menangkal keberadaan kaum radikal. “Tidak hanya pemerintah yang memiliki tanggungjawab menangkal radikalisme. Kita semua turut bertanggungjawab menangkal gerakan ini. Mencari akar masalah yang sebenar-benarnya,” katanya usai meresmikan Gedung Fakultas Pariwisata-LBPPLIA, Penandatangan MoU Pembangunan ATM Center, dan Penyerahan Sertifikat ISO17025 Fakultas Farmasi, Selasa (27/9).

Edie melihat lemahnya pemahaman aqidah menjadi salah satu indikator terjadinya gerakan radikalisme. Untuk masalah ini, kata dia, pemerintah harus ikut bertanggungjawab memberikan pemahaman terhadap masyarakat. “Pemahaman Aqidah yang lemah membuat orang mudah terhasut,” katanya.

Edie menuturkan, solusi penanganan masalah radikalisme adalah menjalankan nilai-nilai Pancasila. Dari sila pertama hingga sila terakhir. Nilai-nilai ini lah yang diajarkan di dalam kampus. “Kami UP sudah menjalankan hal tersebut. Kalau memang kampus lain masih menganggap Pancasila sebagai dasar negara, ya terapkan ajaran Pancasila,” katanya bangga.

Dia menambahkan, penerapan Pancasila dengan baik dan benar akan berpengaruh terhadap minimnya gerakan radikalisme. Sebab, Pancasila mengandung falsafah bangsa Indonesia. “Dengan begitu masyarakat tidak lagi percaya terhadap nilai-nilai lain,” kata Edie.
Secara terpisah, Rektor Universitas Indonesia (UI) Gumilar Rusliwa Somantri mengatakan, untuk mengatasi masalah radikalisme yang terjadi di Indonesia perlu melibatkan para pakar dari pelbagai disiplin ilmu. “Sampai ini belum ada kajian secara komprehensif dari pelbagai disiplin ilmu,” katanya.

Gumilar melihat selama ini sosiolog tidak dilibatkan dalam mengatasi atau menangkal radikalisme. Harusnya, kata dia, sosiolog dilibatkan untuk melihat suatu yang tidak tampak atau laten. “Sosiolog harus dilibatkan untuk melihat suatu yang tidak tampak,” ujarnya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) International Confrence of Islamic Scholars (ICIS) KH Hasyim Muzadi mengingatkan, dalam sebuah negara Islam formal belum tentu pemerintahan dan ajaran Islam dapat berjalan dengan baik. “Banyak Negara-negara Timur Tengah yang menerapkan Islam sebagai dasar Negara. Tapi apa yang terjadi, kita temui adanya pemerintah negara-negara itu yang menyengsarakan rakyatnya, pemimpin yang dictator dan tidak mau turun dari jabatannya,” kata dia.

Hasyim mengungkapkan, beberapa negara di Timur Tengah yang menerapkan Islam secara tektual dalam bentuk negara belum dapat menjamin aplikasi ajaran dan prinsip Islam. Dirinya mencontohkan, konflik yang terjadi pada Libya, Mesir, Pakistan dan lainnya menjadi contoh paling mutakhir. ”Umat Islam harus kembali kepada piagam madinah yang pernah dibuat Nabi Muhammad SAW. Dalam piagam Madinan tersebut Nabi Muhammad tidak menyebut bentuk formal Negara. Sebaliknya, hanya menetapkan nilai-nilai kenegaraan dengan mengedepankan semangat persaudaraan antaragama dan keyakinan lokal,” katanya.

Menurutnya, bentuk formal sebuah Negara merupakan masalah Ijtihadi dan bukan Syar’i. “Atas dasar itu menurut saya, bentuk formal sebuah negara itu merupakan masalah ijtihadi (hasil pemikiran manusia, red) dan bukan Syar’I (hukum baku agama),” terang pengasuh Pesantren Al-Hikam ini.

Dikatakannya, ketidakmampuan dalam memahami prinsip piagam Madinah tersebut membuat banyak orang yang menganggap bentuk negara berdasarkan agama merupakan bagian dari syari’at. “Berangkat dari ketidak mampuan memahami prinsip Piagam Madinah itu lah lahir gerakan radikalisme agama yang terjadi di tengah masyarakat,” ujar Hasyim.

Mantan Ketua PBNU itu menilai, proses deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah akan lebih efektif jika dilakukan dari daerah oleh masing-masing kepala daerah. Tentunya dengan berkoordinasi dan bekerja sama antarlembaga. Dia mencontohkan beberapa lembaga diantaranya: BNPT, Kementeian dalam Negeri, Kemenag, Pesantren-pesantren di daerah. “Dengan cara itu akan lebih efektif dan murah,” katanya.

0 komentar: