Senin, 15 November 2010

Mou KPU dan Wali Kota Melanggar Hukum


DEPOK, Alokasi dana pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) Kota Depok, 16 Oktober lalu sebanyak Rp33 miliar dinilai melanggar Undang-undang (UU) No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2005 tentang dana hibah.

Jadi, nota kesepahaman antara Wali Kota Nur Mahmudi Ismail dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Depok dianggap batal. Menyalahi dua aturan sekaligus. “Alasannya sangat jelas sekali. Anggran pilkada menggunakan uang rakyat. Dialokasikan melalui APBD. Artinya, tidak boleh nota kesepakatan hanya disepakati antara wali kota dan KPU,” kata pengamat kebijakan publik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Safuan Rozi, Senin (15/11).

Seharusnya, nota kesepakatan ditanda tangani tiga pihak; Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), wali kota, dan KPU Depok. Hal itu dilakukan untuk memenuhi aturan standar keuangan pemerintah. “Apa yang terjadi kemarin sama sekali tidak memenuhi standar keuangan pemerintah,” kata Safuan.

Dia mengatakan, persoalan nota kesepahaman antara KPU Depok dan wali kota layak dilanjutkan ke Pengadilan Tata Usana Negara (PTUN) Bandung. Dasarnya, kata dia, uang rakyat tidak boleh dihibahkan pada lembaga vertikal seperti KPU. “Kontrak antara KPU dan wali kota merupakan pelanggaran administrasi. Jadi jelas sudah, pelanggaran tersebut menjadi nyata,” kata Safuan.

Safuan mengatakan, kontrak atau MoU antara wali kota dan KPU memiliki multi tafsir. Apalagi, kata dia, kontrak tersebut dilakukan menjelang pilkada. Ada kesan bahwa dana pilkada diberikan wali kota. Kondisi tersebut dapat menggiring pada ketidak netralan KPU. Terlebih jika kepala daerah atau wali kota kembali terjung ke gelanggang politik. “Buat saya wajar kalau ada kecurigaan dari masyarakat. Karena memang kesepakatan tidak seharusnya hanya dilakukan dua lembaga, melainkan tiga lembaga,” tutur dosen UI itu.

Dosen Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (IISIP) itu menambahkan, MoU antara wali kota dan KPU juga dapat ditafsirkan bahwa pertanggungjawaban keuangan KPU bukan pada lembaga legislatif atau DPRD, melainkan wali kota. Padahal, semua tanggungjawab anggaran pemerintahan seharusnya diberikan ke DPRD.Apalagi konsep pemerintah daerah itu, kata dia, bukanlah kepala daerah. Tapi melibatkan pula legislatif. Jadi yang disebut pemerintahan daerah itu adalah wali kota dan DPRD.

Direktur Forum Ekonomi, Sosial dan Humanika (Fresh), Murthada Sinuraya mengatakan, pelanggaran kontrak KPU dan wali kota itu dapat terlihat pada pasal-pasal dalam UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2005 tentang Dana Hibah. “Dalam UU No.17 Tahun 2003 pasal 22 ayat 2 dan 3. Sedangkan PP 57 tahun 2005 pasal 7 dan pasal 10,” katanya.

Dalam dua peraturan itu, kata Murthada, diatur mengenai mekanisme hibah. Dimana tidak boleh ada anggaran negara yang dihibahkan pada pembaga vertikal.
Kontrak hibah pun dilakukan antaran pemerintah daerah dan DPRD. Dia menyebutkan pasal 2 UU No.17 tahun 2003 menyebutkan hibah itu dilakukan antara Pemerintah pusat dan daerah atau sebaliknya. Sedangkan pasal 3, hibah dilakukan setelah mendapat persetujuan dari legislatif.

Terkait PP No. 57 pasal 7 menyebutkan Penerimaan Hibah bersifat sebagai bantuan yang tidak mengikat, dan harus digunakan sesuai dengan persyaratan. “Kalau demikian dana KPU itu tidak perlu dipertanggung jawabkan. Ini yang bahayanya,” kata dia.

0 komentar: