DEPOK, Tingkat kekerasan terhadap anak hingga saat ini masih tinggi. Pada semester pertama tahun ini saja, setidakya Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) telah memcatat sekitar 1.891 kasus kekerasan terhadap anak. Padahal pada tahun sebelumnya, hanya menerima laporan sebanyak 1.626 kasus. Peningkatan sebanyak 265 kasus pada awal semester menunjukkan kurang sadarnya orang tua akan perlindungan terhadap anak. "Kekerasan terhadap anak meningkat. Kasus kekerasan anak hanya suatu fenomena gunung es, masih banyak kasus lain yang tidak terlaporkan," kata Ketua Umum Komnas PA, Seto Mulyadi kepada wartawan saat konferensi pers dalam rangka Hari Anak Nasional (HAN) kemarin di Graha Insan Cita, Cimanggis, Depok.
Menurut Seto, kelirunya paradigma orang tua menjadikan kasus kekerasan terhadap anak bertambah dari tahun ke tahun. Selain itu, kata dia, faktor melek hukum juga menjadi pemicu para korban kekerasan berani melapor ke pihak berwajib. Yang tak kalah penting, kata Seto, faktor ekonomi juga masih menjadi penyebab terjadinya kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak. Padahal, sebagai orang tua seharusnya mereka menjadi garda terdepan untuk melindungi anak-anak. "Jika para orang tua menganut paradigma yang benar dalam mendidik anak, maka tidak akan terjadi kekerasan atau penelantaran terhadap anak-anak mereka," tambah Seto.
Hal tersebut diamini Sekjen Komnas PA Arist Merdeka Sirait yang mengatakan disfungsi keluarga sangat mendukung terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sehingga anak lagi yang menjadi korban. Seperti yang terjadi baru-baru ini di Madiun, kata Aris, dimana seorang ayah tega melempar anaknya ke jalur kereta karena kesal terhadap ibunya. "Hal-hal demikian sangat sayang terjadi. Orang tua menganggap bahwa anak adalah hak mereka sehingga cenderung seenaknya berbuat sesuatu terhadap anak. Padahal, anak hanya titipan, dan hak hidup anak tidak boleh dipotong oleh siapapun termasuk orang tua sendiri," terang Arist.
Lebih lanjut dia mengatakan, keluarga memiliki tanggungjawab yang besar terhadap keselamatan anak dan perkembangannya. Jika keluarga memilliki rasa tersebut, kata Arist, mustahil kekerasan akan terjadi. Selain itu, peran negara juga turut serta dalam rangka perlindungan anak. Sayangnya hingga kini negara seolah tidak perduli akan hal tersebut. "Negara bukan saja tidak perduli, bahkan cenderung tidak mau tahu dan tidak mendengar suara anak-anak yang selalu digaungkan. Bahkan, untuk membentuk menteri perlindungan anakpun tidak diindahkan," sesal Arist.
Terkait masalah tersebut, Sutarti Soedewo selaku Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak Bermasalah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menegaskan anak merupakan asset para orang tua. Sehingga sangat tidak dibenarkan untuk melakukan kekerasan terhadap mereka dengan alasan apapun. "Termasuk untuk alasan penegakan disiplin dalam dunia pendidikan. Karena pendekatan yang perlu dilakuakan saat ini adalah dengan membangun semangat belajar mereka, bukan menghukum mereka," tandasnya.
Menurut Seto, kelirunya paradigma orang tua menjadikan kasus kekerasan terhadap anak bertambah dari tahun ke tahun. Selain itu, kata dia, faktor melek hukum juga menjadi pemicu para korban kekerasan berani melapor ke pihak berwajib. Yang tak kalah penting, kata Seto, faktor ekonomi juga masih menjadi penyebab terjadinya kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak. Padahal, sebagai orang tua seharusnya mereka menjadi garda terdepan untuk melindungi anak-anak. "Jika para orang tua menganut paradigma yang benar dalam mendidik anak, maka tidak akan terjadi kekerasan atau penelantaran terhadap anak-anak mereka," tambah Seto.
Hal tersebut diamini Sekjen Komnas PA Arist Merdeka Sirait yang mengatakan disfungsi keluarga sangat mendukung terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sehingga anak lagi yang menjadi korban. Seperti yang terjadi baru-baru ini di Madiun, kata Aris, dimana seorang ayah tega melempar anaknya ke jalur kereta karena kesal terhadap ibunya. "Hal-hal demikian sangat sayang terjadi. Orang tua menganggap bahwa anak adalah hak mereka sehingga cenderung seenaknya berbuat sesuatu terhadap anak. Padahal, anak hanya titipan, dan hak hidup anak tidak boleh dipotong oleh siapapun termasuk orang tua sendiri," terang Arist.
Lebih lanjut dia mengatakan, keluarga memiliki tanggungjawab yang besar terhadap keselamatan anak dan perkembangannya. Jika keluarga memilliki rasa tersebut, kata Arist, mustahil kekerasan akan terjadi. Selain itu, peran negara juga turut serta dalam rangka perlindungan anak. Sayangnya hingga kini negara seolah tidak perduli akan hal tersebut. "Negara bukan saja tidak perduli, bahkan cenderung tidak mau tahu dan tidak mendengar suara anak-anak yang selalu digaungkan. Bahkan, untuk membentuk menteri perlindungan anakpun tidak diindahkan," sesal Arist.
Terkait masalah tersebut, Sutarti Soedewo selaku Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak Bermasalah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menegaskan anak merupakan asset para orang tua. Sehingga sangat tidak dibenarkan untuk melakukan kekerasan terhadap mereka dengan alasan apapun. "Termasuk untuk alasan penegakan disiplin dalam dunia pendidikan. Karena pendekatan yang perlu dilakuakan saat ini adalah dengan membangun semangat belajar mereka, bukan menghukum mereka," tandasnya.
0 komentar:
Posting Komentar