DEPOK, Permintaan 14 rumah sakit (RS) swasta yang tergabung dalam Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ASRSI) Kota Depok soal kenaikan tarif operasional yang mencapai 30 persen dinilai Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tidak rasional. Apalagi permintaan kenaikan tersebut terkait erat dengan pelayanan terhadap pasien miskin melalui program Pemerintah Kota (Pemkot) Depok yakni Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). YLKI menyarankan dilakukan invesitigasi terlebih dahulu sebelum Pemkot Depok menyetujui keinginan pihak swasta tersebut. “Kalau rumah sakit pemerintah tidak menaikan tarifnya, seharusnya rumah sakit swasta tidak juga naik. Saya pikir untuk menjawab keinginan pihak swasta, audit saja item yang memicu kenaikan tarif itu,” kata pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, Minggu (13/2).
Tulus melihat tidak seragamnya kenaikan biaya operasional antarRS swasta dan RS pemerintah dapat diartikan berbeda. Apalagi jika item-item kenaikan yang dinginkan pihak swasta tidak dibuka secara transparan. Bisa terkesan mencari keuntungan ekonomis semata. Sebagai contoh, terang dia, pada usulan kenaikan biaya operasional itu terjadi pada harga obat. Berarti seharunya terjadi pula pada RS pemerintah. Bukan hanya rumah sakit swasta saja. Alasannya, Tulus menjelaskan, seluruh RS dapat dipastikan menggunakna obat yang tidak jauh berbeda. Terutama pada jenis-jenis atau merk tertentu. Harganya pun tidak jauh berbeda. Artinya, lanjut dia, kenaikan tarif yang tidak transparan tersebut mengindikasikan nuansa ekonomis lebih dominan. Terkesan pengelola rumah sakit swasta ingin mendapatkan untung lebih besar pada materi obat. ”Kenaikan tarif obat tidak perlu terjadi, jika saja RS mendahulukan penggunaan obat generik. Bukan pada obat paten,” kata dia.
Lebih lanjut dia mengatakan penggunaan obat generik dapat menekan biaya pengobatan jauh lebih hemat. Berbeda dengan penggunaan obat non generik. Persoalan inilah yang harus diperhatikan RS swasta. Tak hanya itu saja Tulus memastikan kenaiakn tarif operasional itu sejatinya dapat dilakukan. Asalkan dengan toleransi kenaikan yang dapat dipahami. Itu berarti pengelola RS swasta harus berani membeberkan unsur kenaikan tersebut. ”Pertanyaannya sekarang, mau tidak rumah sakit itu diaudit biaya obatnya atau unsur keniakan operasionalnya. Kalau mereka bersedia pasti lebih baik. Pemerintah daerah tidak bakal kesulitan,” kata dia.
Secara teknis, menurut Tulus, persoalan kenaitan tarif pengobatan di RS swasta itu berdampak pada pelayanan pasien tidak mampu. Karena beban pengobatan bagi pasien tidak mampu bakal menjadi lebih berat. Sedangkan pemerintah daerah, kata dia, juga memiliki kesulitan dalam penyediaan anggaran kesehatan bagi pasien tak mampu. Karena selalu keterbatasan anggaran. Akibatnya pasien miskin lah yang bakal terlunta-lunta. ”Kalau dipaksa kan dirawat, pasien miskin jelas tak mampu. Kalau dibebankan pemerintah, uangnya tidak ada. Kalau swasta yang nangani mereka takut merugi,” ujarnya.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Hardiono, kendati pihaknya sudah mengirimkan faks mengenai jawaban soal setuju atau tidaknya mereka, tetap saja belum terjadi kesepakatan bekerjasama dalam pelayanan Jamkesda. Sebab hingga kini tuntutan kenaikan tarif tindakan bedah dan non bedah sebesar 30 persen lebih belum dipenuhi. “ASRSI Kota Depok meminta kenaikan tarif tindakan antara 60-100 persen. Kami bersama ASRSI sudah berdialog. Kami sanggup menaikkan 30 persen, tapi mereka minta kenaikan 45 persen. Hingga kini mereka belum mau menandatangani MOU,” ujar Hardiono.
Dikatakan Hardiono, tuntutan ASRSI dinilai tidak realistis. Contohnya, tarif tindakan terhadap pasien Jamkesda itu dari Rp 6 juta naik menjadi Rp 13 juta. Padahal, rawat inap pasien Jamkesda itu di kelas tiga.
Kemudian, kata dia, kenaikan harga obat generik tiga kali lipat. Padahal obat untuk pasien Jamkesda itu adalah obat generik yang harganya sudah ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Jika pihaknya menaikkan harga obat generik itu sudah melanggar aturan. ”Jika tuntutan mereka dipenuhi maka Pemerintah Kota Depok tidak sanggup membayarnya,” kata dia.
Menurut Hardiono, tuntutan ASRSI itu dilayangkan karena dalam Jamkesda pihak rumah sakit tidak dapat memungut biaya sepeser pun kepada pasien. Biaya sepenuhnya ditanggung pemerintah. Akibatnya rumah sakit merasa rugi. Berbeda dengan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Pasien SKTM masih dapat dipungut biaya atau disebut cost sharing.
Seharusnya RS swasta, lanjutnya, mengedepankan sosial rumah sakit seperti yang tertera dalam UU Rumah Sakit No 44 tahun 2009. Hardiono menjelaskan, meski 13 RS swasta itu belum sepakat, pasien Jamkesda tetap dapat mendapatkan haknya di rumah sakit pemerintah. Di antaranya RSUD Depok, Bhayangkara Brimob Kelapadua, Pasar Rebo, Fatmawati, RSCM, Yayasan Ginjal, dan RSUD Cibinong. ”Kami akan berikan sanksi kepada RS swasta yang tidak melayani pasien miskin sebanyak 10 persen. Ini yang diamanatkan dalam UU tentang rumah sakit,” kata dia.
Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Depok dari Fraksi PKS, Sri Rahayu Purwatiningsih menyatakan bahwa RS swasta diperbolehkan mengusulkan kenaikan tarif tindakan pasien Jamkesda. Namun kenaikan itu disesuaikan dengan kemampuan keuangan pemerintah daerah. “Untuk Kota Depok kenaikan tarif tindakan yang realistis itu sebesar lima persen,” kata dia.
Sementara itu, Direktur RS Bhakti Yudha, Syahrul Amri mengatakan, ASSRI Kota Depok meminta penyesuaian tarif tersebut berdasarkan analisis dan negosiasi. Ada beberapa analisis hingga memunculkan beberapa indikator kenaikan tarif tindakan. Di antaranya adalah jasa dokter, sarana rumah sakit, tenaga medis, tenaga rumah sakit, obat, penyedia obat,dan barang habis pakai. ”Sudah beberapa tahun ini tidak ada penyesuaian tarif. Kami tidak ingin biaya operasional sampai tidak tertutupi,” kata dia.
Minggu, 13 Februari 2011
Permintaan 14 RS Swasta Depok Tidak Rasional
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar